40 Contoh Puisi Pendek Berbagai Tema yang Penuh Makna

Contoh Puisi

cemara menderai sampai jauh,
terasa hari akan jadi malam,
ada beberapa dahan ditingkap merapuh,
dipukul angin yang terpendam 

Coba tebak, potongan puisi di atas yang nulis siapa? Bukan Ananda Badudu atau Rara Sekar, yaa. Mereka memang mengapresiasi puisi tersebut lewat musikalisasi puisi. 

Puisi di atas ditulis oleh Chairil Anwar. Judulnya Derai-Derai Cemara. Kalau diperhatikan, diksinya sederhana tapi susunan katanya itu indah banget. Nah, ciri-ciri puisi memang seperti itu guys

Kamu masih inget kan ciri-ciri puisi beserta pengertian, unsur, dan strukturnya? Kalau lupa, boleh baca artikel ini dulu, ya!

Baca Juga: Terlengkap! Pengertian Puisi, Ciri, Contoh, Unsur, & Strukturnya 

Nah, kali ini, kakak bakal ngajak kamu untuk langsung berselancar dalam contoh-contoh puisi dari berbagai tema. Langsung aja yuk disimak!

 

Contoh Puisi Pendidikan

1. Sajak Seonggok Jagung

Sajak Seonggok Jagung

(oleh W.S. Rendra)

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan

Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
Ia melihat petani;
Ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar…

Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium bau kue jagung.

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.

Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja

Tetapi ini:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik
etalase ia melihat saingannya naik sepeda motor.

Ia melihat nomor-nomor lotre.
ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarnya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi
asing di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran
atau apa saja
bila pada akhirnya
ketika ia pulang ke daerahnya lalu berkata
Di sini aku merasa asing dan sepiiiii!

 

Psst, udah tau belum kalau di Aplikasi belajar Ruangguru, ada fitur Drill Soal? Aplikasi ini berisi kumpulan contoh soal latihan beserta pembahasannya, loh. Pas banget buat kamu mempersiapkan ujian. Langsung aja cobain dengan klik banner di bawah ini!

Drill Soal

 

2. Puisi Sekolah di Pulau Kelapa

Sekolah di Pulau Kelapa

(oleh Imam Budiman)

sebuah sekolah—sedikit daratan
halamannya laut dan langit terbentang
sejauh mata menghadang di batas lazuardi. 

tiada roda empat, pula jalan aspal
motor matik melupakan masa lalu
menanggalkan spion kepalanya. 

pada jam istirahat, ditambatkan kapal mesin
dan perahu milik nelayan. seragam hari senin
disapu terik, anak-anak berebut membeli jajan
kepada seorang perempuan muda bermata
indah penjual mie instan dadakan 

di kejauhan seorang guru berwajah datar
memantau di depan pagar—barangkali
menyimpan amarah, mungkin pula
sedikit kesepian. 

 

Contoh Puisi Guru

3. Puisi Fasal-Fasal Ihwal Guru

Fasal-Fasal Ihwal Guru

(oleh Imam Budiman)

[pembuka]

dari para guru aku bermula,
segenap cahaya pewaris Nabi

[satu]

Guru adalah sampan dengan kemudi cinta serta dayung cahaya

yang melarung tubuhku bertualang ke samudera pengetahuan;

ke huruf-huruf arkais yang tak kukenali, ke taman bunga
penuh rumusan, angka-angka, juga kiasan bahasa

[dua]

Guru adalah peletak batu pertama di alas kepalaku,
upaya dirinya menuntun–membaca aksara zaman
cahaya dalam pengabdian: teladan dan kata-kata

[tiga]

Guru adalah mata air yang mengalir dalam sukmaku,
nasihat yang terbit dari ketulusan dan keluhuran cinta
semoga Tuhan selalu menerangi jalanmu; kini dan kelak

[empat]

Guru adalah muara khidmat tak berselat,
tanpa kenal payah hingga parau bersuara
–menjauhkanku dari segala tuba kejahilan

[lima]

Guru adalah kompas di tengah belantara
yang mengarahkanku mencintai sungai,
lapisan tanah, susunan langit, hujan
: semua rahasia semesta raya

[enam]

Guru adalah desau angin yang merawat dedaunan
yang melahirkan matahari kecil di hati dan pikiran
: menjadikan akal budiku manusia

[penutup]

kepada para guru aku akhiri,
segenap cahaya pewaris Nabi

 

4. Puisi Guru Baik dan Penurut

Guru Baik dan Penurut

(oleh Imam Budiman)

kemeja motif batik. rambut klimis. parfum murah. sepatu diusap sekenanya. pagi-pagi sekali saya harus berangkat ke sekolah. mengejar waktu. menghajar sepi. mengajar anak-anak kami yang kehilangan orang tua dalam profesi.

sekolah adalah lumbung ilmu. tapi lumbung ilmu belum tentu di sekolah.tahun-tahun pelik dan memprihatinkan, anak-anak mulai bosan belajar.

anak-anak mulai merasa
terpaksa menuju sekolah.

anak-anak kini lebih mencintai langit, hutan serta sungai sebagai guru yang baik, penyayang dan tentu saja tak suka marah-marah.

pada pelajaran matematika, anak-anak dipaksa menghafal rumus, lalu menghitung rapi kesedihan demi kesedihan sampai umur bertaut uzur.

pada pelajaran bahasa Indonesia, anak-anak dipandu bermain-rangkai imaji dan metafor, lalu mengarang puisi yang tak pernah bisa dipahami oleh guru, bahkan oleh diri mereka sendiri.

sekolah-madrasah menerbitkan rasa tabah:
bilik-bilik keramaian yang asing, lalu lalang ilmu pengetahuan yang sunyi dalam keberaturan.

tetapi, kata Negara, sekolah adalah pilar utama dalam kemajuan dan kehidupan berbangsa.

sebagai guru yang baik,
saya pun iya-iya saja.

sebagai guru yang baik,
saya ikut apa kata Negara.

 

Contoh Puisi Sahabat

5. Puisi Sajak-Sajak Amelinda

Sajak-Sajak Amelinda

(oleh Laras Sekar Seruni)

/i/
ketika subuh
menjelma bait-bait
rindu
kita
dihampar garis waktu
yang masih bisu
tapi sama rata
sama rasa

/ii/
dan anak-anak
kucing berkejaran
di jalanan rindang
di depa kenangan
di hela jari-jari
kwatrinmu
dan aku
masih mencari sisa ceritamu

/iii/
di sela-sela jemuran
kersik-kersik teras
depan kamar
kresek-kresek hitam
bertebaran
menjadi bisik-bisik
suaramu yang
lekap dengan aroma siang 

/iv/
duh, teman
turunkan segenap
suar yang kau bentangkan
di hadapannya
dan saat dia membuatmu
merana karena cinta,
katakan pada kita.
biar dia tahu rasanya
dilibas dengan kata-kata

/v/
kapan kita mengulang
fragmen hari ini dan
esok dan lusa dan
detik-detik berikutnya
dalam detak napasmu?
sebab kita tidak pernah
mengenal kemarin 

/vi/
hanya ada
waktu
dan kamu 

/vii/
aku  mencintai hujan
dengan segenap
suara riuhnya
aku mencintai
pelangi
karena ada kita
di dalamnya 

/viii/
sanggupkah kau
merindukan tiap
uap suaranya?
semagis sayap embun
di akhir pagi
sepurna jingga
di batas senja

Baca Juga: Memahami Cerpen: Pengertian, Sturktur, Jenis, dan Ciri-Ciri

 

Contoh Puisi Ibu

6. Sajak Ibunda

Sajak Ibunda

(oleh W.S. Rendra)

 

Mengenangkan ibu
adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk-pauk.
Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna
kenduri besar kehidupan.

Wajahnya adalah langit senja kala.
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.

Mengingat ibu
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.

Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.

Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?

Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:
“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat,
lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,
sementara orang desa yang tanpa tanah
jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.
Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
 bakal kuburanmu nanti.”

Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.
Tetapi lalu bagaimana sang anak
akan menerangkan kepada ibunya
tentang kedudukannya sebagai
 tiran, koruptor, hama hutan,
 dan tikus sawah?

Apakah sang tiran akan menyebut dirinya
 sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan antek modal asing akan
 menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan
 menganggap dirinya sebagai petani teladan?

Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:
Nak, jangan lupa bawa jaketmu.
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti dapat amplop,
tolong belikan aku udang goreng.

Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia Raya.
Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.

 

7. Puisi Wajah Ibu dalam Skripsi

Wajah Ibu dalam Skripsi

(oleh Imam Budiman)

di lembar-lembar skripsi,
kucari-cari sisa wajah ibu.

bagaimana kabar ketulusan
di balik purba rahimnya?

ibu lebih setia merentang jarak
di antara lembah dua spasi.

di sela kata, ia mengintip dengan tatap yang entah.
di celah waktu, ia mendoakan meski tiada kabar.
di ujung bab lima, ia purna menuju Tuhan.

 

Contoh Puisi Tentang Kota

8. Puisi Koplo Kota Tua

Koplo Kota Tua

(oleh Esha Tegar Putra)

Aku turut berjoget di jalanan kota tua, istriku. Turut larut dalam sihir angklung tegalan bersama rombongan muda-mudi bahagia. Barangkali mereka dari Bojong, Sawangan, atau mungkin pelancong Sumatera tersesat dan kehabisan sewa losmen. 

Aku turut berjoget bersama mereka. Karena dalam joget aku lihat bagian sebenarnya dari kota ini. Kota dimana patung-patung dipahat dari gamping gunung lalu dibenamkan dalam akuarium. Kota dimana mataku ditundukkan tembakan laser dan jantungku dibuat remuk udara menggila. Kota dengan orang-orang memasang lentera pada pantat mereka, melipat nasib dalam ponsel, berdoa sekaligus mengumpat sebisanya agar jalur-jalur trem dibangun dengan segera. 

Kupasang baju hangat, kuselempangkan sarung, dan aku turut berjoget di jalanan kota tua itu. Aku jadi paham, bahwa revolusi turut dikumandangkan dalam dangdut koplo. Aku terus berjoget sebab mereka juga terus berjoget. Bagian lain dari kota ini telah menemukan juru selamat mereka: tukang gendang berkaki pincang, pemain angklung bermuka murung, serta biduanita dengan dada tersumbul semenjana.

Dalam joget aku juga ingat kota kita. Serasa dihembus angin pedalaman itu pada punggungku, serasa sampai debur ombak yang tertahan itu ke pangkal telingaku, dan serasa dipiuh-dipilin tali jantungku pada retakan tungku batu. Dalam joget aku terus terbayang jauh ke seberang sana, ke kota kita. Di sana, sebuah puisi akan terus tumbuh, akan terus bergemuruh. 

 

9 Puisi Menjadi Kemacetan

Menjadi Kemacetan

(oleh M. Aan Mansyur)

kita lelah dan
mesin mesin tidak tahu bergerak
kau ingin aku menjadi sesuatu

yang ringan dan pandai terbang
aku lebih suka andai bisa menjadi mobil
bertumpuk di belakang pabrik

yang sudah pensiun
atau belukar yang menjadikannya taman
ular dari jendela mobil yang gelisah
tidak ada yang tampak indah bahkan

matahari yang menenggelamkan diri
dan jingga sebagian

hujan sejak lama sudah sial tercatat
di laporan tahunan departemen sosial
selebihnya
memilih sembunyi di sajak siapa penyair itu

dan aman jadi laut
atau langit
atau cuaca tanpa

ada yang mengubah namanya jadi keluhan
kau ingin aku jadi kekasih atau puisi yang tangannya
bisa memijat betismu yang kram
aku lebih suka andai bisa jadi trotoar
atau pohon tua
yang mengajakmu berlari-lari kecil
seperti bocah riang pulang sekolah

kita lelah dan kata-kata dusta
dan kota-kota jauh jatuh

dari layar telepon genggammu yang lelah
kau pandangi
kau sedih seolah semua orang yang kau
kenal tiba-tiba menghapusmu

kau ingin aku menjadi negara
atau hal-hal lain yang gemar berlibur
aku lebih suka andai bisa jadi buku
dongeng yang kau baca di tempat tidur
kau peluk aku
sambil tertawa membayangkan kita
sepasang anak kecil yang selamanya
ku peluk kau sambil membayangkan

lengan kita adalah negara satu satunya
mesin mesin ini tetap bodoh
dan tak tahu bergerak
teleponmu basah dan mati
dan lepas dari genggaman
tidur
atau mungkin maut memasuki tubuhmu
pelan-pelan

matamu museum kupu-kupu
ku lihat mimpi satu demi satu keluar dari
sana
aku
seperti biasa memikirkan cita-citaku
yang selalu
ingin segera berhenti jadi buruh

Baca Juga: Perbedaan Buku Fiksi dan Non Fiksi dari Ciri, Struktur, serta Contoh

 

Contoh Puisi Pendek

10. Puisi Yang Fana Adalah Waktu

Yang Fana Adalah Waktu

(oleh Sapardi Djoko Damono)

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.

 

11. Puisi Malam Lebaran

Malam Lebaran

(oleh Sitor Situmorang)

Bulan di atas kuburan.

 

12. Puisi Di Atas Meja

Di Atas Meja

(oleh Joko Pinurbo)

Di atas meja kecil ini
masih tercium harum darahmu
di halaman-halaman buku.

Sabda sudah menjadi saya.
saya akan dipecah-pecah
menjadi ribuan kata dan suara.

 

13. Puisi Solipsistis

Solipsistis

(oleh Ibe S. Palogai)

ia dayung sampan ke biru hindia
seperti mengajarinya kaidah melarikan diri
sebab di daratan, berkali tapak jejaknya ditafsir
                                                                  peluru buta pemburu.

 

Contoh Puisi Lama

14. Syair Si Burung Pingai

Syair Si Burung Pingai

(oleh Hamzah Fansuri)

Thair al-‘Uryan unggas ruhani
Di dalam kandang hadrat Rahmani
Warnainya pingai terlalu sufi
Tempatnya kursi yang maha ‘ali

Sungguhpun ‘uryan bukannya gila
Mengaji al-Qur’an dengan tertila
Tempatnya mandi sungai salsabila
Di dalam firdaus ra’su Zanjabila

Sungai ini terlalu ‘ali
Akan minuman Thayr al-‘Uryan
Setelah minun jadi hairani
Takar pun pecah belah serahi

Minuman itu terlalu larang
Harganya banyak artamu alang-alang
Badan dan nyawa jangan kau sayang
Inilah harga arak yang garang

Thayr al-‘Uryan mabuknya salim
Mengenal Allah terlalu alim
Demikianlah mabuk harus kau hakim
Inilah amal Sayyid Abu al-Qasim

Minuman itu tiada terbagi
Pada Ramadhan harus kau pakai
Halal Thayyiban pada sekalian sakai
Barang meminum dia tiadakan lalai

Minuman itu telalu sufi
Yogya akan syurbaty maulana qadi
Barang meminum dia Tuhan kita radi
Pada kedua alam ia Hayy al-Baqi

Minuman itu yogya kau permain
Supaya lupa engkau akan kain
Buangkan wujudmu cari yang lain
Inilah ‘Uryan pada ahl-batin

Jikau Engkau kasih akan nyawamu
Terlalu batil sekalian kerjamu
Akulah ‘Uryan jangankan katamu
Orang yang ‘Uryan bukan rupamu
Riya’ dan khayal tiada qabil
Pada orang arif yang sudah kamil
Lain dari pada mabuk dan ilmu wasit
Pada ahl-haqiqah sekalian batil

Riya’ dan khayal ilmu nafsani
Di manakan sampai pada ilmu yang ‘ali
Seperti bayazid dan Mansur Baghdadi
Mengatakan Ana al-Haqq dan Qawl Subhani

Kerjamu itu hai anak dagang
Pada ahl-ma’rifat terlalu malang
Markab tauhid yogya kau pasang
Di tengah laut yang tiada berkarang

Hamzah Fansuri di negeri Melayu
Tempatnya Kapur di dalam kayu
Asalnya manikam tiadakan layu
Dengan ilmu dunia dimanakan payu

Baca Juga: Novel: Ciri, Struktur, Unsur, Jenis, Contoh, & Kebahasaannya

 

Contoh Puisi Rakyat

15. Puisi Orang-Orang Miskin

Orang-Orang Miskin

(oleh W.S. Rendra)

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kami abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya.
karna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya terompah dan belacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tidak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu hindarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik jadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
di buku programa gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah:
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim.

 

16. Puisi Catatan

Catatan

(oleh Wiji Thukul)

gerimis menderas tengah malam ini
dingin dari telapak kaki hingga ke sendi-sendi
dalam sunyi hati menggigit lagi
ingat
saat pergi
dan pipi kiri kananmu
kucium
tak sempat mencium anak-anak
khawatir
membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak)
bertanya apa mereka saat terjaga
aku tak ada (seminggu sesudah itu
sebulan sesudah itu
dan ternyata lebih panjang dari yang kalian harapkan!)
dada mengepal perasaan
waktu itu
cuma terbisik beberapa patah kata
di depan pintu
kaulepas aku
meski matamu tak terima
karena waktu sempit
aku harus gesit

genap 1/2 tahun aku pergi
aku masih bisa merasakan
bergegasnya pukulan jantung
dan langkahku
karena penguasa fasis
yang gelap mata

aku pasti pulang
mungkin tengah malam dini
mungkin subuh hari
pasti
dan mungkin
tapi jangan
kautunggu

aku pasti pulang dan pasti pergi lagi
karena hak
telah dikoyak-koyak
tidak di kampus
tidak di pabrik
tidak di pengadilan
bahkan rumah pun
mereka masuki
muka kita sudah diinjak!

kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
katakan
ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi dipaksa menjadi penjahat
oleh penguasa yang sewenang-wenang

kalau mereka bertanya
“apa yang dicari?”
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok
haknya
yang dirampas dan dicuri

 

Contoh Puisi Kritik Sosial

17. Puisi Aku Tulis Pamplet Ini

Aku Tulis Pamplet Ini

(oleh W.S. Rendra)

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi pengiyaan

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

 

18. Puisi Bunga dan Tembok

Bunga dan Tembok

(oleh Wiji Thukul)

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!

 

Contoh Puisi Kemerdekaan

19. Puisi Kembalikan Makna Pancasila

Kembalikan Makna Pancasila

(oleh Mustofa Bisri atau Gus Mus)

selama ini di depan kami
terus kalian singkat-singkat pancasila
karena kalian takut ketauan
sila-sila yang kalian maksud
sila-sila yang kalian anut
tidak sebagaimana yang kalian tatarkan

       kepentingan-kepentingan sempit sesaat
telah terlalu jauh menyeret kalian
maka pancasila kalian pun selama ini adalah :

KESETANAN YANG MAHA PERKASA
KEBINATANGAN YANG DEGIL DAN BIADAB
PERSETERUAN INDONESIA
KEKUASAAN YANG DIPIMPIN OLEH MIKMAT KEPENTINGAN
DALAM KEKERABATAN / PERKAWANAN
KELALIMAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

dan sorga kamipun menjadi neraka
di depan dunia
ibu pertiwi menangis memilukan
merahputihnya di cabik-cabik
anak-anaknya sendiri bagai serigala
menjarah dan memperkosanya

o, gusti kebiadaban apa ini ? 
o, azab apa ini ?     
gusti,   
sampai memohon ampun kepada Mu pun
kami tak berani lagi

 

20. Puisi Penjahat Kemanusiaan

Penjahat Kemanusiaan

(oleh Moh. Zahirul Alim)

Bukan tentang apa yang kau rasakan hari ini
bukan pula tentang apa yang kau nikmati detik
ini ini tentang apa yang mereka alami selama ini
sekian lama mereka kau tindas
sekian lama sudah mereka kau sakiti
sekian lama mereka kau hancurkan
dengan peluru, bom, roket, dan senjata canggih

rusak betul hidup mereka
lengkap benar nestapa mereka
sampai kapan mereka harus menerima
semua perlakuan ini
sampai kapan mereka harus menanggung duka ini
hai kamu yang berambisi besar untuk mencaplok bumi Tepi Barat
dan merampas hak-hak manusia tak berdosa

sadarlah, roda akan selalu berputar
ingatlah tidak selamanya kamu yang menindas
dan mereka tertindas
ingat, segala sesuatu ada waktu dan gilirannya 

 

Contoh Puisi Perjuangan

21. Puisi Demi Orang-orang Rangkasbitung

Demi Orang-orang Rangkasbitung

(oleh W.S. Rendra)

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera!
Nama saya Multatuli
Datang dari masa lalu.
Dahulu abdi Kerajaan Belanda,
ditugaskan di Rangkasbitung,
ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa,
dan hak pribadi diperkosa.

Demi kepentingan penjajahan,
Kerajaan Belanda bersekutu dengan
kejahatan ini.
Sia-sia saya mencegahnya.
Kalah dan tidak berdaya.

Saya telah menyaksikan
bagaimana keadilan telah dikalahkan
oleh para penguasa
dengan gaya yang anggun
dan sikap yang gagah.
Tanpa ada ungkapan kekejaman
di wajah mereka.
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.

Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari Minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
menghindari perkataan kotor,
dan selalu berbicara
dalam tata bahasa yang patut,
sambil membanggakan keuntungan besar
di dalam perdagangan kopi,
sebagai hasil yang efisien
dari tanam paksa di tanah jajahan.
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.

Ya, begitulah.
Kami selalu mencuci tangan sebelum makan
dan kami meletakkan serbet
di pangkuan kami.
Dengan kemuliaan yang sama pula
ketika kami memerintahkan para marsose
agar membantai orang-orang Maluku dan
orang-orang Java
yang mencoba mempertahankan
kedaulatan mereka!
Ya, kami adalah bangsa
yang tidak pernah lupa mencuci tangan.

Kita bisa menjadi sangat lelah
apabila merenungkan gambaran kemanusiaan
dewasa ini.
Orang Belanda dahulu
juga mempunyai keluh kesah yang sama
apabila berbicara tentang keadaan mereka
di zaman penjajahan oleh Spanyol.
Mereka memberi nama yang buruk
kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.
Tetapi sekarang pakah mereka lebih baik
dari Pangeran yang jahat itu?

Tentu tidak hanya saya
yang merasa gelisah
terhadap dawat hitam
yang menodai iman kita.
Pikiran yang lurus menjadi bercela
karena tidak pernah bisa tuntas
dalam menangani keadilan.
Sementara waktu terus berjalan
dan terus memperlihatkan keluasan
keadaannya.
Kita tidak bisa seimbang
dalam menciptakan keluasan ruang
di dalam pemikiran kita.
Memang kita telah bisa berpikir
lebih canggih dan kompleks,
tetapi belum bisa lebih bebas
tanpa sekat-sekat
dibanding dengan keluasan waktu.
Bagaimana keadilan bisa ditangani
dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat?
Ya, saya rasa kita memang lelah.
Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.

Bukankah keadaan keadilan di sini
belum lebih baik dari zaman penjajahan?
Dahulu rakyat Rangkasbitung
tidak mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati Lebak.
Sekarang
apakah rakyat kecil
sudah mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati-adipati masa kini?
Dahulu
Adipati Lebak bisa lolos dari hukum.
Sekarang
Adipati-adipati yang kejam dan serakah
apakah sudah bisa dituntut oleh hukum?
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga
sudah merdeka?
Apakah bangsa tanpa hak hukum
bisa disebut bangsa merdeka?

Para pemimpin negara-negara maju
bisa menitikkan air mata
apabila mereka berbicara tentang democratie
kepada para putranya.
Tetapi dari kolam renang
dengan sangat santai dan penuh kewajaran
mereka mengangkat telefoon
untuk memberikan dukungan
kepada para tiran dari negara lain
demi keuntungan-keuntungan materi bangsa
mereka sendiri.

Oh! Ya, Tuhan!
Saya mengatakan semua ini
sambil merasakan rasa lemas
yang menghinggapi seluruh tubuh saya.
Saya mencoba tetap bisa berdiri
meskipun rasanya
tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya.
Saya sedang melawan perasaan sia-sia.
Saya melihat
negara-negara maju memberikan
bantuan ekonomi.
Dan sebagai hasilnya
banyak rakyat dari dunia berkembang
kehilangan tanah mereka,
supaya orang kaya bisa main golf,
atau supaya ada bendungan
yang memberikan sumber tenaga listrik
bagi industri dengan modal asing.
Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,
mendapat ganti rugi
untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya
dengan uang yang sama nilainya
dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.

Barangkali kehadiran saya sekarang
mulai tidak mengenakkan suasana?
Keadaan ini dulu sudah saya alami.
Apakah orang seperti saya harus dilanda
oleh sejarah?
Tetapi ingat:
sementara sejarah selalu melahirkan
masalah ketidakadilan,
tetapi ia juga selalu melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.

Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
kita sama-sama memahami sejarah.
Senang atau tidak senang
ternyata tuan-tuan tidak bisa
meniadakan saya.
Nama saya Multatuli
saya bukan buku yang bisa dilarang
dan dibakar.
Juga bukan benteng yang bisa
dihancurleburkan.
Saya Multatuli:
sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri.
Oleh karena itu
saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah.

Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
apabila ada keadaan yang celaka,
apakah perlu ditambah celaka lagi?
Pada intinya inilah pertanyaan sejarah
kepada anda semua.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya
yang hadir di sini,
setelah memahami sejarah,
saya betul tidak lagi merasa sepi.
Dan memang tidak relevan lagi bagi saya
untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,
sebab jelaslah sudah kewajiban saya.
Ialah: hadir dan mengalir.

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
terima kasih.

 

22. Puisi Krawang-Bekasi

Krawang Bekasi

(oleh Chairil Anwar)

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi,

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi kami adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi ada yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.

Baca Juga: Teks Pidato: Pengertian, Struktur, Ciri, Metode, dan Contoh 

 

Contoh Puisi Sejarah

23. Puisi Sjahrir di Sebuah Sel

Sjahrir di Sebuah Sel

(oleh Goenawan Mohamad)

Dari jendela selnya,
(kita bayangkan ini Jakarta,
Februari 1965, dan ruang itu lembap,
dan jendela itu rabun),
ia merasa siluet pohon
mengubah diri jadi Des,
anak yang berjalan dari selat
memungut cangkang nyiur,
dan melemparkannya
ke ujung pulau.

“Aku selalu berkhayal tentang selat,
atau taman kembang, atau anak-anak.”

Itu yang kemudian ditulisnya
di catatan harian.

Maka ditutupkannya daun jendela
dan ia kembali ke meja,
ke peta dengan warna laut
yang tak jelas lagi.

Ia cari kapal Portugis.

Tapi Banda begitu pekat, dan laut
menyembunyikan ingatannya.

(Seorang pemetik pala
pernah mengatakan itu
di sebuah bukit
kepada Hatta)

Kini ia mengerti: juga peta
menyembunyikan ingatannya,
seperti malam Rusia
menyembunyikan sebuah kota.
Tiap pendarat tak akan
mengenali letak dangau,
jejak ketam pasir,
batang rambai yang terakhir,
di mana sisa hujan
agak disamarkan.

“Sjahrir. Bukankah lebih baik lupa?”

Seekor ular daun pernah menyusup
ke sandalnya dan ia ingat ia berkata,
“Mungkin. Mungkin aku tak akan mati.”

Esoknya ia berlayar.
Di jukung itu anak-anak mengibarkan
bendera negeri yang belum mereka kenal.

“Lupa adalah…”

“Jangan kau kutip Nietzsche lagi!”

“Tidak, Iwa. Aku hanya ingin tahu
sejauh mana kita merdeka.”

Di beranda rumah Tjipto,
di tahun 1936 itu,
percakapan sore,
di antara pohon-pohon Naira,
selalu menentramkan.
“Jangan beri kami attar
dan tuhan imperial.”
seseorang menirukan doa.

“Tapi kita dipenjarakan, bukan?”

Ya, tapi ini penjara yang pertama,
yang memisahkannya dari ingin
dan kematian.

“Ah, lebih baik kita diam,”
kata tuan rumah.
“Abad ke-20 adalah abad
yang memalukan.”

Di sana, di beranda rumah Tjipto,
menjelang malam, di tahun 1936,
mereka selalu tertawa
mengulang kalimat itu.

Di sini, (kita bayangkan di Jakarta,
Rumah Tahanan Militer, 1965),
ia tak pernah merasa begitu sendiri.

Hanya ada suara burung tiung
(atau seperti suara burung tiung)
ketika siang diam.

Tapi ia takut duduk.

Ia tak ingin menghadap ke laut,
(andaikan ada laut),
seperti patung Jan Pieterszoon Coen,
seperti pengintai di menara benteng
yang menunggu kapal-kapal
di dekat langit
sebelum perang.

Ia tak ingin duduk.

“Siapa yang menatap jurang dalam,
jurang dalam akan menatapnya.”

Mungkinkah ia sendiri
yang mengucapkannya di sel itu?

 

24. Puisi Stalingrad, Sebuah Pagi

Stalingrad, Sebuah Pagi

(oleh Laras Sekar Seruni)

saya mengingat sebuah kisah–pagi yang
temaram, dan Sungai Volga menyimpan
peluh terakhirnya. 

hari itu, rumput pada tanah tidak pernah
mengenal deru senapan, bahkan bangunan-bangunan
masih tertinggal di
pondasinya.

tapi Stalin tertinggal di tanggal sejarah–ia
mengubah Stalingrad sebagai kotanya,
dan menaburkan nama-nama baru bagi kawanan
camar. 

dan Stalin, ia berkaca pada tahun 1901,
ketika roti dan gandum menemukannya di
tepi jalan Kremlin. 

sudahkah engkau mati?

sudahkah engkau mati setelah pagi yang kau
binasakan-sebuah pertarungan besar
melawan führer dan kawanan anjing dari
Jerman?

betapa saya mengamini, hanya Volgograd
yang merapikan isi kepalanya setelah salju
terakhir di ujung minggu. sementara
Stalingrad adalah sebuah kisah–Stalin yang
memungut puntung rokok dari dahimu,
melinting hidupmu dalam detik-detik bisu.

 

Contoh Puisi Tentang Alam

25. Puisi Pengayuh Rakit

Pengayuh Rakit

(oleh Inggit Putria Marga)

sebab segala yang mendatanginya selalu pergi setelah beberapa puluh hari sambil duduk mendekap lutut di tepian rakit, kepada air sungai yang penuh wajah matahari, pengayuh rakit meratapi perannya di kelahiran kali ini yang baginya, serupa sepetak tanah yang hanya layak ditanami sawi: tanah gembur dan berhumus di lapisan pertama, keras dan berbatu di lapis-lapis lainnya. 

tak ada tanaman tahunan yang dapat subur di tanah seperti itu. mereka hidup tapi hidup seperti payung terkatup. pokok jati di belakang rumahnya semacam bukti: belasan tahun akar menjalar, tubuh hanya mampu setinggi lembu, daun kalah lebar dengan daun telinga anak gajah, lingkar batang lebih ramping daripada lingkar pinggang atlet renang. jati yang tumbuh terhambat kerap membuatnya ingat pada pohon cita-cita yang sejak kecil tertanam di ladang dada: batang kerdil, daun mungil, tiada buah meski sepentil. 

sementara para sawi, di tanah itu, dengan panjang akar hanya beberapa senti mampu mencapai puncak hidup dalam puluhan hari. daun-daun muda tengadah seperti tangan berdoa. daun-daun tua rebah di tanah bagai petualang istirah. sayang, sebelum kembang-kembang sawi lahir, hubungan tanah dan tumbuhan berakhir. sawi dicerabut. tanah melompong ditertawai kabut. melompong serupa wajahnya saat segala yang mendatangi hanya singgah beberapa puluh hari, lalu pergi: hewan atau manusia, malaikat atau hantu, bahagia atau pilu. 

alih-alih menjemput penumpang di tepi sungai untuk diantar menyeberang pengayuh rakit terus-menerus meratap buaya menyembul dengan mulut mangap

 

26. Puisi Monolog Tentang Ibu

Monolog Tentang Ibu

(oleh Laras Sekar Seruni)

/I/

ibu bercerita tentang rentang impian anak-anak hujan berwajah jendela. di sisi kirinya tersemat pusaka tanah rampasan perang yang didekap senandung gamelan. di sisi kanannya tercurah kesuburan nan teduh untuk memikat kehidupan.

/II/

ibuku, kawan, memiliki gunung yang rampai menembus awan. di atasnya angkasa perkasa menjadi penjaga tanpa cela. di bawahnya mengalir santun tetesan air dari mata nirwana. begitu luruh. begitu gemuruh. rambut ibuku mengakar pada sebidang inseptisol, menjengkal setiap kisah wanara yang dipenjara buku-buku tua.

/III/

ibuku menyibak tabir bisu dari senandung waktu. sedangkan ibumu melampaui jemari halaman bukit kencana di lembah terjamah mezbah.

 

Contoh Puisi Perjalanan

27. Puisi Penjelajah

Penjelajah

(oleh Adimas Immanuel)

Hanya biru laut. Hanya laut.
Siang malam kita teropong.
Hanya biru laut, lembar tabut.
Bayang wajah yang terpotong.

Tiada bayang emas dan sutra.
Hanya hijau pesona selalu
berdenyut di kelopak mata.

Tapi aku tak cari pantai
hidup sudah cukup landai.
Aku hanya menantang
Tuhan yang semayam
dalam gejolak gelombang
: cinta adalah firman yang
Berangkat dari kutukan!

Hanya laut, kelebat kalut.
Kau masih tak tertempuh
tak mungkin turunkan sauh.

Letih penjelajahan ini
akan berakhir di mana
jika tak tertambat
di tanjung nyawamu?

Hanya wajahmu, rupa waktu
yang jika sirna dari makna
yang jika susut dari maksud
tetap ada di mana-mana.

 

28. Puisi Merapi; Fragmen Perjalanan

Merapi; Fragmen Perjalanan

(oleh Laras Sekar Seruni)

Merapi–sebuah
saksi yang
dirambati jutaan
kenangan, dengan
sisa-sisa
ranting patah,
warna tanah,
dan udara pagi yang
lesap bersama
tubuh kita di
pinggir cangkir
kopi.
            Kita–sepasang
            mata kata yang
            enggan terjalin,
            namun selalu
            berpilin. kata
            yang saling
            menebak,
            merebakkan
            deburan kuasa
            atas takdir-Nya.
sampai Merapi
terpejam,
mengamini
kepergian kita
menuju tembaga
waktu, memeluk
telaga waktu.

Baca Juga: Hikayat: Pengertian, Karakteristik, Jenis, Bentuk, dan Contoh 

 

Contoh Puisi Kuliner

29. Puisi Sayur Buatan Ibuku

Sayur Buatan Ibuku

(oleh Ni Made Purnamasari)

Sayur buatan ibuku
seperti sajak yang pernah kutulis

Aku perlu garam, ibu
kata-kata menghilang
tak mau jadi hujan
tak mau jadi sajak

Sayur buatan ibuku
mengingatkan tentang kamarku
jaring laba-laba
                potret ayahku
                        sajak yang terselip
                        di bawah lemari

aku tak suka terasi, ibu
derik jangkrik
mencuri sajak-sajakku:
sajak tentang bulan
tentang pohonan
                 atau jalan lengang
                 di sebuah kota

Aku perlu kata-kata
seperti bawang merah ini
seperti kau hambarkan sayur ini

Lalu adakah kecap di meja, ibu?

Sayur ini hambar
seperti sajak
yang pernah kutulis

 

30. Puisi Kuah Sup

Kuah Sup

(oleh Imam Budiman)

semangkuk kecil kuah sup
dengan cecahan wortel dan kol
menjadi pengantar tidur si anak gubuk

dalam tidur, ditemuinya ayah wortel
dan ibu kol di rumah mangkuk
-keduanya sedang bercinta
di dalam didih panci

ia membisikkan ke kuping panci:
kulumat kau, yah, sehabis-habisnya
kuremah kau, bu, sepayah-letihnya

namun selamanya ia merasa lapar
di sela-sela giginya yang tinggal piatu

 

Contoh Puisi Terjemahan

31. Puisi Kita Bahkan Kehilangan

Kita Bahkan Kehilangan

(oleh Pablo Neruda, diterjemahkan oleh Saut Situmorang)

Kita bahkan kehilangan senja ini.
Tak ada yang melihat kita jalan
bergandengan tangan
sementara malam yang biru ambruk ke dunia.

Kulihat dari jendelaku
pesta matahari tenggelam di puncak puncak pegunungan yang jauh.

Kadang sepotong matahari
terbakar seperti sebuah uang koin di antara tanganku.

Aku mengenangmu dengan jiwaku tergenggam
dalam kesedihanku yang sudah sangat kau tahu itu.

Di mana kau waktu itu?
Ada siapa lagi di situ?
Bilang apa dia?

Kenapa cinta mendatangiku tiba tiba
di saat aku sedih dan merasa kau betapa jauhnya?

Terjatuh buku yang biasanya dibaca
setelah senja tiba
Dan mantelku tergulung seperti seekor
anjing yang terluka di dekat kakiku.

Selalu, selalu kau mengabur lewat malam menuju ke mana senja pergi menghapus patung patung.

 

32. Puisi Para Kekasih

Para Kekasih

(oleh Rainer Maria Rilke, diterjemahkan oleh Tia Setiadi)

Saksikanlah bagaimana di pembuluh darah mereka segalanya
jadi ruh:
mereka dewasa dan tumbuh dalam satu sama lain
ibarat gandar, bentuk-bentuk mereka memusar dengan
gemetar,
menggasing dalam lingkarannya, menawan
dan berkilauan
saat dahaga, mereka pun beroleh minuman.
saat mengintai, dan saksikan: mereka pun
beroleh penglihatan.
biarkan mereka tenggelam ke dalam satu sama lain
demikianlah mereka saling menanggungkan satu sama lain
seketika

 

Contoh Puisi Cinta

33. Puisi Tidak Ada New York Hari Ini

Tidak Ada New York Hari Ini

(oleh M. Aan Mansyur)

Tidak ada New York hari ini.
Tidak ada New York kemarin.
Aku sendiri dan tidak berada di sini.
Semua orang adalah orang lain.

Bahasa ibu adalah kamar tidurku.
Ku peluk tubuh sendiri.

Dan cinta—kau tak ingin aku
mematikan mata lampu.
Jendela terbuka
dan masa lampau memasukiku sebagai angin.
Meriang. Meriang. Aku meriang.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang

Hari ini tidak pernah ada. Kemarin tidak nyata.
Aku sendiri dan tidak menulis puisi ini. Semua
kata tubuh mati semata.

Puisi adalah museum yang lengang. Masa remaja
dan negeri jauh. Jatuh dan patah. Foto-foto hitam
putih. Aroma kemeja ayah dan senyum perempuan
yang tidak membiarkanku merindukan senyum lain.
Tidak ada pengunjung. Tidak ada pengunjung.
Dibalik jendela, langit sedang mendung.

*

Tidak ada puisi hari ini. Tidak ada puisi kemarin.
Aku menghapus seluruh kata sebelum sempat menuliskannya.

 

34. Puisi Kepada Kamu yang Dihisap Kenangan

Kepada Kamu yang Dihisap Kenangan

(oleh Laras Sekar Seruni)

aku mencintainya
dengan seluruh
tubuh yang meluruh 

aku mencintaimu
dengan waktu
yang begitu
terbatas

 

Contoh Puisi Ketuhanan

35. Puisi Manurung

Sudahkah kauajarkan kepadanya tentang wajah Kesedihan yang kelak datang kepadanya setelah dia selesai menciptakan Bumi dan isinya?

(oleh Faisal Oddang)

Dia tidak mengenali Kesedihan itu
: Kesedihan tidak berwajah dan tak pernah diberi nama.

Dia akan pergi meninggalkan semua hal kecuali tubuhnya,
termasuk kau–seorang ibu yang tidak berani memandang cermin.
seorang ibu yang takut melihat rasa enggan berjejalan dan tertahan
seperti puluhan onak yang menancap di kerongkonganmu.

Suamimu benar-benar Tuhan yang tidak tahu diri
dia hanya menitip sejumput sirih yang dia kunyah dari cerana,
lalu menghadiahkan rupa-rupa hal yang tidak kaumengerti untuk apa
: sebilah pisau kecil, sebuah mahkota, sepasang cincin milikmu dan
miliknya–yang tidak pernah cukup untuk mengganti semua hal yang
telah kalian rebut dengan paksa dari Batara Guru.

Dia tidak mengenal Kesedihan itu, tetapi Kesedihan mengenalinya.

: dia yang membuat adonan gunung, menggali ceruk danau,
memahat sungai, membentangkan lautan, serta menata hutan.
Dia yang menciptakan Bumi dan isinya tetapi dia bukan Tuhan.
Siapakah Dia? Dia Batara Guru yang malang, anak yang telah
kalian korbankan atau kalian utus sebagai tunas di Bumi
seperti istilah suamimu untuk kehidupan yang asing dan jauh.

“Menyembahlah tiga kali kepadaku,” kata suamimu
dan katakan: Tuhanku, akulah hambamu. Katakan!”

Air mata Batara Guru jatuh bersama tubuhnya, dia berlutut.
Tuhan kembali berkata: “Sekarang kau manusia biasa, bukan Dewa.”

Sirih dikunyah dari sebuah cerana setelah itu, seorang budak sigap
menadah ludah Tuhan yang menatap anaknya sambil memejam
dan meniup ubun-ubunyya tiga kali, sebuah nyawa sempurna dicampakkan.
Batara Guru telah pergi, dia mati untuk hidup kembali.

Di dalam bambu betung, tubuh Batara Guru yang ringkih
menuju Bumi setelah sebuah pelangi dibentang sebagai jalan.

Kau di mana ketika anakmu pergi, o, Datu Palinge?

Rindu membangunkannya dari mati, dia menyadari takdir
telah menjadi kail untuk ikan yang dia pijahkan dalam dirinya
: dia mencampakkan umbai daun lontar dan menabur beras sangrai
untuk menciptakan rupa-rupa binatang. Dia telah mencampakkan hidupnya
pada saat yang sama dan mencampakkannya lagi beberapa saat kemudian
ketika dia tersedu dan air matanya tidak berubah jadi apa-apa.

“Aku tak memahami semua ini, Tuhanku: aku melihat petir bersabung,
aku melihat budak-budak yang datang dari langit, aku melihat
semuanya, tetapi di mana diriku yang kukenali dulu?”

Kau mendengar pertanyaan anakmu itu? Suamimu mendengarnya
tetapi baginya pertanyaan adalah doa yang tidak perlu dia jawab
sebagaimana doa yang tidak melulu butuh dikabulkan.

 

36. Puisi Doa

Doa

(oleh Chairil Anwar)

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

Cahaya Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintu Mu aku bisa mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

 

Contoh Puisi Bebas

37. Puisi Derai-Derai Cemara

Derai-Derai Cemara

(oleh Chairil Anwar)

cemara menderai sampai jauh,
terasa hari akan jadi malam,
ada beberapa dahan di tingkap merapuh,
dipukul angin yang terpendam.

aku sekarang orangnya bisa tahan,
sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan,
yang bukan dasar perhitungan kini.

hidup hanya menunda kekalahan,
tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Baca Juga: 15 Contoh Cerpen Singkat Berbagai Tema yang Seru dan Menarik 

 

38. Puisi-Puisi Tanpa Judul

Puisi-Puisi Tanpa Judul

(oleh Avianti Armand)


1.
Di antara lembar-lembar buku itu ia temukan kerangka daun
yang sudah putih, kelopak-kelopak bunga — kering dan rapuh,
dan kupu-kupu mati yang segera jadi abu bila disentuh. Di
lembar-lembar berikut terselip jalan-jalan di kota berkanal
yang airnya hijau, kamar-kamar hotel murah setua debu, dan
bau mawar liar di jendela. Sesekali terdengar kepak sayap
dari merpati yang berebut jagung di piazza kota dan dingin
musim gugur yang tak pernah menyakitkan. Di lembar lain
terjepit tawa yang seringan bulu dari anak-anak yang berlari
menerbangkan layang-layang. Derum mobil tak tersimpan
di situ. Juga hujan yang membikin tanah jadi becek dan udara
berjamur.

Di antara lembar-lembar buku itu hanya ada memori yang
membasahi mata. Dan di halaman terakhir: perempuan itu.

2.

Bolehkah kusimpan pecahan cermin ini?
Untuk apa?
Untuk mengingatkanku pada satu saat di sebuah kampung
yang jalannya berbatu-batu dan batunya berbau kopi.
Untuk membawaku kembali pada sudut kecil
tempat sepotong bagel dihidangkan
dengan segelas anggur yang asamnya tak lekas hilang.
Untuk membuka pintu ke stasiun di mana kau
tinggalkan karcis
lusuh terserak di antara langkah orang-orang yang bergegas.
Lebih sederhana lagi–
untuk memanggilmu kembali.
Aku?
Kamu. Di cermin yang hanya sepotong ini
aku hanya bisa melihat:
Mataku.

3.

Ruang menyusut, meninggalkan kamu di dalam, dan aku
di luar. Matahari lisut. Tapi angin bernapas begitu keras,
menerbangkan daun-daun ke laut dan menarik-narik anak-
anak rambutku. Ke mana? Tanyamu. Aku terlanjur terbang,
sebelum sempat menjawab dan mengikat rambut.

Mungkin di satu hari baik nanti, kau akan temukan aku
tersangkut di cecabang kamboja yang dulu kau tanam di
sisa petak depan rumahmu yang tak pernah jadi.

4.

Mimpi pergi, ketika asap bakaran sampah mendesak masuk
ke kamar lewat kisi-kisi kayu yang rapat namun ompong
di sana-sini. Besok, tak akan ada lagi kerat roti yang kau olesi
mentega asin di piring. Kakimu tak lagi bisa mengusik debu
di depan pintu yang biasanya terbuka pada ketok ketiga.
Tak bakal kulihat kepul kopi susu menyaputi sebelah susumu
yang separuh terbuka.

Sungguh, aku tak kehilangan apa-apa.

5.

Kemarin kamu bilang: Jangan tinggalkan aku. Aku bisa mati.
Tapi mungkinkah pernah kamu serukan kalimat yang sama
pada perdu di samping rumah, kolam hijau pekat yang
dasarnya tak pernah kita lihat, kumpulan ketilang, juga pagi
yang malas?

Mereka berbisik sekarang.

 

39. Puisi Aku Setelah Aku

aku setelah aku : eyelight

(oleh Afrizal Malna)

aku berdiri sebagai reruntuhan, atau,
mungkin sebagai reruntuhan yang duduk di
depan monitor kesunyian. gelombang- gelombang
memori masih bergerak, seperti mesin scanner yang
mondar-mandir di atas keningku. batas kematianku
dan batas kecantikanmu, membuat tikungan yang
pernah dilalui para petapa. aku masih reruntuhan
dalam pelukanmu. batu-batu bergema dalam
puing-puingnya. menuntunku dari yang jatuh.
berenang dalam yang tenggelam. menghidupkan
gitar mati di mataku.

ketukan-ketukan kecil, putaran di kening,
lembah-lembah yang belum pernah kulihat. aku
berdiri melihat garis bibirmu dari matamu, garis
yang dilalui sebuah truk. seorang perempuan
menyetirnya dengan lengan kirinya yang patah.
ia gulingkan cermin-cermin busuk ke dalam kaca: aku
pada batas-batas berakhirnya aku. perempuan yang
kecantikannya melumpuhkan batas-batas militer.
parit-parit bekas peperangan, membuat mata rantai
baru ke telaga. bebaskanlah aku, bebaskanlah aku dari
kultur yang menawan kebinatanganku.

ia bergerak, kejutan-kejutan pendek dari setiap
bayangan puisi. garis awan lurus bekas pesawat
tempur dari matanya, semakin lurus dalam horison
keheningan: batas setelah manusia menyerahkan
dirinya kembali sebagai binatang. perempuan
yang kecantikkannya menyihirku sebagai lelaki setelah
lelaki, sebagai aku setelah aku. kecantikan yang
mengisi kembali botol-botol kosong dalam puisi,
setelah kekejaman di luar tutup botol.

aku ambil kembali mayatku dari lidahnya.
perempuan yang kecantikannya terus merajut
pecahan-pecahan kaca. aku tak percaya, tubuh
penuh jahitan setelah aku di depanku.
perempuan yang kecantikannya membangun
sebuah hutan di mataku, siang-malam,
mengisinya dengan binatang-binatang kecil, pagar jiwa dalam
cincin yang mengusir kehancuran makna. gua
bagi pemujaan tubuh dan burung-burung dalam
kicauannya. di dalam sarangnya, aku dan waktu
menjadi purba.

 

40. Puisi Lagu Penggali Kubur

Lagu Penggali Kubur

(oleh Dea Anugrah)

Seperti yang kautahu, di sinilah aku bertahan
di antara kembang gugur dan marmer itali
memaklumi jangat yang terbakar matahari

Kedua lenganku telah sama tua
dengan hapalan pertama seorang pendoa
Sebagaimana doa-doa itu memanjang ke langit
lenganku pun terbiasa memanjang ke bumi
memisahkan batu dari tanah
memecahkan segala yang tak terpisah

Dengan gerak tubuhku sendiri
dengan peluh milik jiwaku sendiri
kuciptakan konstelasi baru
kukarang semesta lainnya
dari delapan buah sudut yang sederhana

Istirahatku hanya mata
yang sesekali kupejamkan
bagai seorang penyanyi opera
ketika nada-nada yang rendah dan berat
melampaui menara hitam hasrat
dan menyentuh pusat jantungnya yang murung

Kadangkala kesunyian ini
membuatku berkhayal jadi seorang raja
atas negeri yang tak pernah dijajah, kaum
yang tidak menyerbu, wilayah yang dipertahankan
tanpa para pemanah dan tembok-tembok perbatasan

Tamuku bukanlah kaisar-kaisar asing
dalam ragam warna, bentuk, dan bahasa
bukan pula para utusan
pewarta kabar, bujuk, atau ancaman
Tamuku adalah orang-orang berjubah duka
bicara dalam bahasa duka

Dan manakala orang-orang itu pergi
kupandangi punggung mereka
sampai tak terlihat lagi, tahu
ia yang tak meninggalkan jejak kaki
berkisar di antaranya.

Baca Juga: Pengertian Fabel dan Legenda Beserta Ciri dan Contohnya

Wih, kamu berasa abis baca buku kumpulan puisi nih! Gimana, mantap kann puisi-puisi dari berbagai tema yang tadi udah kamu baca? Semoga abis ini kamu makin suka puisi dan makin pengen nulis puisi buatan kamu sendiri, ya!

Eitss, tapii, kamu bisa mendapatkan materi lebih dalam lagi lho tentang Puisi dengan bergabung di Brain Academy untuk belajar dengan para Master Teacher yang kece-kece dan keren-keren!

Brain Academy

 

Referensi:

Anugerah, Dea. (2019) Misa Arwah. Yogyakarta: Shira Media.

Anwar, Chairil. (2020) Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus. Yogyakarta: Narasi

Armand, Avianti. (2016) Buku Tentang Ruang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Budiman Imam (2018) Di Balik Kulit dan Belulang. Jakarta

Budiman, Imam (2021) Pelajaran Sederhana Mencintai Buku Fiksi. Yogyakarta: CV. Putra Surya Santosa

Budiman, Imam (2023) Salik Dakaik; Mencari Anak dalam Kitab Suci. Jakarta: Yayasan Wakaf Darus-Sunnah

Damono, Sapardi Djoko (2016) Hujan Bulan Juni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Immanuel, Adimas. (2017) karena cinta kuat seperti maut. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Malna, Afrizal (2015) berlin proposal. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia

Mansyur, Aan M. (2016) Melihat Api Bekerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Mansyur, Aan M. (2016) Tidak Ada New York Hari Ini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Marga, Inggit Putria (2020) Empedu Tanah. Jakarta: Gramedia PUstaka Utama

Mohamad, Goenawan (2017) Fragmen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Neruda, Pablo (2017) Duapuluh Puisi Cinta & Satu Nyanyian Putus Asa. Yogyakarta: Indie Book Corner

Oddang, Faisal (2017) Manurung; 13 Pertanyaan untuk 3 Nama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Palogai, Ibe S. (2018) Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pinurbo, Joko (2017) Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Putra, Esha Tegar (2016) Sarinah. Jakarta: Grasindo

Rendra, W.S. (2017) Orang-Orang Rangkasbitung. Yogyakarta: Diva Press & Mata Angin

Rendra, W.S. (2022) Potret Pembangunan dalam Puisi. Bandung: Pustaka Jaya

Rilke, Rainer Maria (2020) Surat-Surat Kepada Penyair Muda dan Sejumlah Sajak. Yogyakarta: Penerbit Jual Buku Sastra

Sari, Ni Made Purnama (2021) Kawitan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Seruni, Laras Sekar & Alim, Moh. Zahirul (2022) Merawat Kata. Bandung: Penerbit Ellunar

Seruni, Laras Sekar (2018) Solilokui. Kediri: Forum Aktif Menulis

Thukul, Wiji (2017) Nyanyian Akar Rumput. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Kembalikan Makna Pancasila [daring] Tautan: https://id.wikisource.org/wiki/Kembalikan_Makna_Pancasila (Diakses 24 September 2023)

Sajak-Sajak Imam Budiman [daring] Tautan: https://m.mediaindonesia.com/sajak-kofe/540282/sajak-sajak-imam-budiman (Diakses 24 September 2023)

Syair Si Burung Pingai (Thair Al-’Uryan)-Hamzah Fansuri [daring] Tautan: http://hamdiakhsanhikmah.blogspot.com/2011/06/syair-si-burung-pingai-thair-al-uryan.html (Diakses 24 September 2023)

Sumber Gambar:

freepik. Open Book Over More Book [daring]. Tautan: https://www.freepik.com/free-photo/open-book-more-books_4882527.htm#query=puisi&position=9&from_view=search&track=sph (Diakses: 24 September 2023)

Laras Sekar Seruni