Contoh-Contoh Cerpen Berdasarkan Jenisnya, Belajar Nulis, Yuk!

Cerpen merupakan prosa pendek yang terdiri tidak lebih dari 10.000 kata, dan hanya memiliki konflik tunggal. Ada beberapa contoh cerpen yang bisa kamu jadikan bahan belajar. Yuk simak!
---
Waktu sekolah dulu, jujur aja aku suka banget sama pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi kalau udah disuruh menulis cerpen. Ibaratnya, mengarang cerpen itu sama saja dengan menerapkan seluruh ilmu yang kamu pelajari di pelajaran Bahasa Indonesia. Seperti contohnya, tanda baca, berbagai imbuhan, ataupun penerapan jenis-jenis teks.
Jadi … cerpen itu apa, sih? Cerpen itu singkatan dari “cerita pendek”. Seperti namanya, cerpen merupakan bentuk prosa fiksi singkat yang memiliki konflik tunggal. Kalau mau gampangnya, sih, cerpen itu cerita fiksi yang sekali habis, mulai dari pengenalan tokoh, konflik, sampai penyelesaian. Panjang cerpen juga nggak boleh lebih dari 10.000 kata, loh.
Jenis-jenis Cerpen
Cerpen sendiri memiliki tiga jenis, yaitu:
1. Cerpen Pendek
Loh, kan cerpen itu udah “pendek”, apa ada yang lebih pendek? Hehe, seperti namanya, cerpen pendek hanya terdiri dari 500 - 700 kata. Bahkan, terkadang ada juga yang menyebutnya dengan ficlet.
2. Cerpen Sedang
Cerpen sedang adalah cerita yang memiliki panjang 700 - 1000 kata.
3. Cerpen Panjang
Cerpen ini tersusun lebih dari 1000 kata. Bahkan ada yang sampai mencapai 5000 - 10.000 kata.
Baca juga: Memahami Ciri-ciri, Struktur, dan Contoh Cerita Pendek
Contoh Cerpen
Supaya lebih paham, ada beberapa contoh cerita pendek yang bisa kamu jadikan acuan dalam belajar. Yuk, disimak!
Cerpen Pendek
Hutan Merah
Karya: Fauzia. A
Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.
Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.
“Hei, lihat itu!”
Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.
Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”
Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!
“Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan belalainya..
Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.
Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.
“Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.
“I-ibu ... ibumu ....” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora berada.
“Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.
Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”
Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.
“Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.
Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.
“Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.
“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.
“Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?
“Cepat pergi, Bora!”
“Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.
“Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”
“Jangan, Bora!” bentak Pipin
Kraaak! Braaak!
“IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.
“Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.
Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.
Baca juga: Kuliah Jurusan Sastra Indonesia, Kerja Jadi Apa Ya?
Cerpen Sedang
Dilema Nara
Karya: Alya Khalisah
-
Nara terbangun karena sinar matahari menembus jendela kamarnya yang entah sejak kapan terbuka. Sejenak, ia hanya menatap langit-langit kamar. Matanya masih terasa sembab, sisa tangisan tadi malam.
Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu memandang sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar.
Nara menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar apa pun. Setetes bening air matanya bergulir di pipi. Wajahnya dibenamkan dalam kedua telapak tangan yang lemah. Rasanya ia sudah tak sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Ia tak kuat hidup dalam lingkaran kesedihan yang menggiringnya menuju kegilaan.
Nara berjalan perlahan ke luar rumah, di antara jalanan sepi sambil menundukkan kepala seolah malu dunia melihatnya. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang pepohonan dan rumah. Nara berhenti melangkah saat seseorang menghalangi bayangannya.
“Ada yang ingin kukatakan padamu.” Orang itu mulai berbicara kepadanya.
Nara mendongak. Wajahnya terasa familiar.
“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara hanya diam. “KENAPA KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak.
Gadis itu melayangkan telapak tangannya ke pipi Nara. “PERGI!”
Nara tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya memegang pipinya yang terasa nyeri karena tamparan barusan. Hilanglah dari dunia ini, dasar penghancur keluarga orang! hardik gadis itu. Nara terisak diiringi suara teriakan gadis itu di telinganya. Tetesan bening meleleh, merayapi sudut wajahnya.
Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh dari orang tua. Ia hidup berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi ternyata, semua itu hanya bualan. Ayahnya, ternyata, seorang pria yang telah berkeluarga. Saat itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua ayahnya.
Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang. Ibunya dianggap wanita yang tak punya harga diri. Tidak ada yang sudi berbagi nafas dan tempat dengan keluarga Nara. Mereka tidak pernah mau tahu separah apakah kerusakan jiwa yang mendera orang yang mereka cemooh.
Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat dekat yang saling mengaitkan janji satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak mengkhianati. Begitu istri pertama ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu syok berat. Suami yang ia cintai, berpaling darinya. Sahabat yang paling ia percaya, mengkhianatinya dalam waktu yang sama.
Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat ayahnya mengungkapkan hal itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda balas dendam. Mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah, hingga lemparan api untuk rumahnya.
“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong.
“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat Nara beranjak dari posisi yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari balik pintu.
“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”
Memang, keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke wilayah yang cukup jauh untuk mengubur kelamnya masa lalu dan melanjutkan hidup. Tapi baginya, pindah rumah hanyalah bentuk pelarian diri. Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan pikirannya telah menyatu dengan frustasi berkepanjangan yang diderita Nara selama ini. Ia tetap tidak akan hidup dalam damai seperti sebelumnya.
Nara bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, ia mengingat Nina. Gadis itu ingi ia lenyap dari dunia ini. Ia ingin Nara musnah. Nara tahu apa artinya itu.
*
Nara memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang terlontar dari ayah dan ibunya. Ia tertegun dan mengingat kejadian yang terasa begitu cepat.
Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau kesukaannya. Awalnya, ia tidak mau melihat orangtuanya menangis hebat sambil memeluknya. Awalnya, ia ingin merasakan rasa sakit yang mendera jiwanya lebih lama lagi. Namun, saat ia menutup mata dan menguatkan diri atas segala risiko perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya itu hanya datang dari luapan fantasinya ketika ia sudah berhasil mati. Kemudian Nara tahu, kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi baik. Inilah yang diinginkan semua orang.
Nara tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia hanya merasakan gema bebas dan damai berdengung dalam pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima berbagai bentuk kekerasan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas dan hidup dalam kedamaian yang dirindukan.
Nara menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kenikmatan damai yang mengalir di sekujur tubuhnya. Berkas-berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari tubuhnya, menuntun gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yang akan membawanya menuju keabadian.
Baca juga: Mengenal Kalimat Efektif, Ciri, dan Contohnya
Cerpen Panjang
Badai yang Reda
Karya: Fauzia. A
-
Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung yang sedang bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang membuat mereka terbang lebih jauh dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin seperti layang-layang. Walau beberapa orang yang kukenal mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat bebas, tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya.
Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit Pangandaran yang cerah ini.
Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-mana. Banyak wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu bermain layang-layang atau hanya sekadar duduk-duduk menikmati pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak Imas yang berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga karena pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang kuhirup. Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios. Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang ingin membeli dagangannya. Aku tidak mau masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku untuk melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.
Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga orang lainnya berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi malam, dan baru kembali tadi subuh. Kenapa sekarang mereka siap-siap ingin berlayar lagi? Apa tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun menangkap segerombolan ikan tuna di tengah laut sana? Eiy ... itu pemikiran bodoh! Satu-satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.
Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku. Dibesarkan di pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada itu. Aku takut membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik menjadi musuhku dan melenyapkan segala yang kucintai.
Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.
Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.
“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”
Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang. Iyeu Pak Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing, mumpung cerah katanya).”
“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”
Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja... seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.
“Ah... atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”
Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya... sama seperti melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.
Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi Bapak berbalik lagi?
Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.
Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan kekhawatiran.
Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang terus membasahi kakiku. Kumohon... kali ini pun, jaga Bapak.
Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran itu masih ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas langsung menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah melihat Bapak kembali.
Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.
“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu? seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”
Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan mereka dan memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu?
Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.
“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”
Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak Imas, kini aku bisa mendengarnya juga. Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak, lebih tepatnya menjauh dari bibir pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak bisa bergerak meski keadaan sangat kacau di sekitarku. Suaraku hanya tertahan sampai tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas, mengikuti gerakkan ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak mengikuti alur, terhempas. Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian tubuhku.
“Bapak...”
Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.
Di dalam kegelapan pandanganku.
***
Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak mudah hilang meski aku meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru, serapat apapun aku menutup hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka tanpa lelah, mereka pun tidak berhenti bergerak.
Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata memerah di ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari kampanye partai politik beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan celana kain hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.
Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan kehampaannya. Dan aku hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata atau bahkan menggerakan kaki untuk mendekatinya. Kakinya yang gemetar, perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok kurus yang terbujur kaku. Lalu, seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus menunduk, tidak mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan membasahi tubuhku sangat deras, seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis pilunya memenuhi paru-paru.
Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti rela berbaring di sana untuk menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak, semua tidak akan kembali. Dan bodohnya, aku hanya bisa berdiri di sini.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku, menyisakan tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan itu pun berubah menjadi cahaya terang.
Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon kali ini—tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.
---
Seru kan belajar nulis cerpen barengnya, hehehe. Lebih seru lagi kalau kamu bisa belajar bareng sama STAR Master Teacher di Brain Academy. Nggak cuma dalam pelajaran Bahasa Indonesia, tapi di pelajaran lain juga, bahkan sampai persiapan ujian. Ada kelas gratisnya, lho!
Artikel ini terakhir diperbarui tanggal 3 Oktober 2022.
Fauzia Astuti